Saat Maut Batal Menjemput http://duniamenggambar.blogspot.co.id Penulis: Radhar Panca Dahana Disadur dari Kompas edisi Minggu...



Saat Maut Batal Menjemput
http://duniamenggambar.blogspot.co.id

Penulis: Radhar Panca Dahana
Disadur dari Kompas edisi Minggu, 2 Maret 2017
Aku tahu, di tiap “sakit itu”, “tak siapa pun di situ”. Kesendirian, kadangkala juga sebuah kesunyian, memang, adalah watak sakit yang sebenarnya. Tapi tidak kali ini. “Sakit ini”, rasa sakit yang ada sekarang ini, bahkan “aku pun tidak ada di sini”. Entah kenapa. Aku belum paham, apakah ini hikmah atau jati diri sakit yang sesungguhnya. Yang melampaui kesadaran biologis dan kepekaan psikologisku. Ah... Aku...tidak cemas pada “sakit ini atau itu”, aku juga tidak peduli ini watak atau jati diri sakit yang sesungguhnya atau bukan. Apa yang kucemaskan hanyalah kesadaran dan kepekaan itu. Adakah aku masih memilikinya?
Aku mencoba paham, jangan-jangan aku sudah “mengatasi” sakit itu, atau ini keadaan yang “meng-atas-i” sakit ini? Aku mencoba sekuatnya untuk merasakan, menghayati, sebagaimana biasanya sakit semacam ini datang padaku. Tapi aneh, bahkan ajaib, untuk pertama kali aku tidak bisa mempekerjakan kesadaran fisiologis juga kepekaan psikologisku. Akal? Sejak mula sebenarnya sudah tidak bekerja. Ia berhenti dengan sendirinya. Ia bukan lagi sentrum atau pusat di mana seluruh kapasitas berbicara tubuh dan perasaanku ditentukan. Akal adalah bagian yang lebih cepat mati.
Mati? Jangan-jangan tak hanya akalku. Menurut ukuran medis di Amerika Serikat yang kutahu, kematian (biologis setidaknya) ditentukan oleh daya kerja otak, sebagai bagian paling sentral dari kehidupan (yang mereka percaya, tentu saja). Sebagai orang yang bukan-Amerika, sekurangnya menolak menjadi bagian dari sejarah peraaban mereka, aku tidak begitu peduli atau tergantung pada otak alias akal. Aku hidup dengan mengoperasikan secara lebih kuat daya kerja fisik dan mental-emosional. Katakanlah secara sempit dan reduktif, refleks dan rasa.
Begitu kali ini, di tingkat “sakit” ini”. Seluruh daya kukerahkan untuk mempekerjakan kekuatan, ilmu hingga kesadaran biologis dan psikisku. Namun sekian lama, sekian waktu yang kuanggap lebih dari cukup, aku tak merasakan apa-apa, tak menyadari apa-apa. Apa tubuh dan emosiku sudah tak bekerja lagi? Atau ia mati akibat kematian otakku? Tidak. Tubuh dan emosi adalah ilmu dan kesadaran, budaya dan peradaban tersendiri, kadang lebih kuat dari akal.
Tapi kini keduanya diam, sunyi sendiri. Apakah mereka pun mati? Apa artinya sesungguhnya sakit ini adalah mati yang sejati? Namun mengapa aku masih bisa melihat? Dengan penglihatan apa, dengan mata yang mana? Memang, pemandangan yang kulihat berbeda dari biasa. Langit, awan dan bintang misalnya nampak hanya kejembaran atau keluasan yang tak membutuhkan tepi bahkan isi. Kekosongan ini memnuhi pandang, bahkan mataku. Bahkan seluruh diriku kini seakan menjadi mata. Mata apa ini? Mataku mana? Mata siapa?
Kosong ini memadati aku seperti tenaga yang terus mengumpul tiada henti, dengan daya atau kekuatan tak terperi. Aku seperti noktah dengan gravitasi terbesar yang segera akan menciptakan bang, semacam ledakan yang sangat hebat. Seperti ereksi yang tak mungkin ditahan oleh kejadian atau perasaan apa pun. Beginikah kematian, puncak semua kesakitan, melenyapkan keseluruhan diri dengan ledakan besar untuk mengisi kosong yang penuh ini? Bagaimana aku sanggup menanggungnya? Tidak...tidak aku tak sanggup, Tuhan.
“Memang...bagaimana kau sanggup? Kau cuma manusia...cuma.”
“Betul. Apa daya manusia di keluasan, kepenuhan semesta.”
“Kamu bukan apa-apa...”
“Betul aku bukan apa-apa.”
....
“Lalu, aku apa?”
“Kamu sekedar mata.”
“Mata? Maksudmu?”
“Kamu hanya penglihatan. Hanya bisa melihat. Mungkin memahami, sedikit. Tapi tak bisa menyentuh...merasakan, memiliki...menciptakan, apalagi.”
“Oh...betul. Tapi mata ini saja sudah begitu luar biasa. Hingga apa yang kulihat tak mampu menangkapnya, menyimpan atau mencernanya. Tak ada sel otak mana pun, bahkan kata, huruf sekalipun dapat tersusun untuk memahami semua...semua yang ada pada mataku saat ini.”
“Inilah kenyataan kedua. Kenyataan yang harus kau baca.”
“Harus kubaca? Melihat pun aku tak bisa seluruhnya.”
“Apa kamu beragama?”
“Tentu saja.”
“Pernahkan kau membaca kitab-kitab dalam agamamu?
“Tentu.”
“Untuk apa?”
“Kewajiban.”
“Apa tujuannya?”
Ya...memahami isinya.”
“Pahamkah kamu?”
“...Saya tak tahu, tak bisa menilai.”
“Apa sebenarnya paham itu?”
“Aku tak mengerti maksudmu...?”
“Paham itu buka melulu mengerti arti, tersirat atau tersurat.”
....
Bukan sesuatu yang teranalisa, tersimpan dan tercerna dalam 11.300 cc isi otakmu. Bukan hal yang melulu akal.”
“Maksudmu...”
“Huruf terlalu terbatas dan miskin, bagi paham yang sebenarnya. Bagi kenyataan yang terlalu besar untuk tertangkap dan dicerna indra. Seluas apapun akal dan imajinasi, ia hanya sungai di samudra hidup sesungguhnya.”
....
“Sesungguhnya paham harus terjadi di seluruh bagian dirimu.”
“Bukan hanya pikiran?”
“Jantung, jempol, mata, rambut, tungkai, usus, batin, emosi, semua.”
“Bagaimana...?”
“Pertanyaannya keliru. Jawaban pasti juga salah. Berhentilah hidup hanya dengan akal. Tubuhmu terlalu hebat hanya untuk diperintah, diakali akal.”
“Sungguh...aku tak paham.”
“Keluarlah dari huruf. Temui kenyataan dan hidupmu yang sebenarnya, dengan seluruh yang ada pada dirimu. Dapatkanlah ilmu dalam jiwamu, dalam batinmu, dalam betismu, dalam jakunmu, gigimu, dalam langkahmu...”
“Bagaimana...bisa?”
“Tidak akan bisa. Karena kamu sudah terjebak sejak dini. Dalam huruf.”
“Tapi tulisan, itulah kebudayaan, kemajuan manusia, hidup sebenarnya?”
“Kebudayaan yang membuat keliru manusia, begitu lama.” Bibir misteri itu tersenyum , membuat langit terbuka dan seperti sebuah mata mengintip dibaliknya.
“Hah, jadi...”
“Jadilah mata sesungguhnya, untuk membaca...”
“Membaca apa? melihat pun tidak bisa.”
“Karena kau merasa ini matamu yang dulu, mata yang biasa, di kepala.”
“Maksudmu...ini mata yang lain lagi? Mata hati begitu?”
“Mata seluruh dirimu.”
“Diri yang menjadi mata?”
....
“Mata sebenarnya mata?”
....
“Mata yang melihat nyata yang sebenarnya nyata?”
Tersenyum lagi.
Kali ini langit lenyap. Semesta kosong, suwung. Aku tak dimana, tapi di sana. Semua senyum semata.
***
Sejak tadi, ya sejak tadi, aku berdialog. Begitu saja. Tanpa kesadaran, seperti dengan diri sendiri, seperti mimpi yang menguap. Begitu saja. Tapi...yang ini, bukan mimpi. Di depan mataku kini muncul satu wajah. Bukan ilusi atau fana. Nyata sebenarnya nyata. Wanita pula. Wanita yang tersenyum. Ya, senyum yang tadi. Senyum yang seperti ironik, mengejek, juga senang dan bahagia karena jawaban-jawaban terakhirku tadi? Monalisa?
Bukan. Ia lebih sempurna, jauh lebih indah, terlebih kedalaman samudera dibalik pandangnya. Ia memandangku dengan cara yang membuatmu tak berdaya karena ia memenuhi seluruh kosong yang sebelumnya memadatiku. Sinar matanya seperti riwayat jutaan tahun peradaban manusia, menukik ke bagian terdalam hati, merenggut dan menenggelamkanku, untuk selamanya. Untuk selamanya.
Mengapa? Karena kau merasa seperti mendapat bantalan tidur yang tidak memberi sedikit pun rasa ingin untuk bangun. Aku henyak, seperti duduk di pelaminan Adam.
“Apa kamu Eva?”
“Aku adalah semua Hawa yang kau butuhkan untuk kosongmu”
Ah...kalimat itu diakhiri oleh nafas yang menghembuskan udara dimana molekul-molekul penyusunnya bukan hanya menghidupkan makhluk, tapi juga benda mati. Inilah nafas Kun, benih yang menghidupkan. Begitu pun aku. Barang mati karena sakit ini.
 Dan apa yang dilakukan wanita sepenuh semesta dihadapanku ini selanjutnya, adalah mimpi semua lelaki dari masa paling purba. Termasuk, tentu saja, penderitaan lelaki yang sepanjang sejarah sebudayaannya sambil berurai airmata harus menindas perempuan karena inferioritasnya di hadapan perempuan. Menjadikanku lelaki sesungguhnya lelaki, memberi rasa bangga dan penghormatan sesungguhnya. Menjadi manusia sempurna dalam inferioritasnya.
Ia meladeniku jauh lebih baik dari cara terbaikku meladeninya. Ia mengasihiku jauh lebih indah ketimbang cinta termulia yang kurasa dapat kuberikan padanya. Ia melengkapi semua yang kosong seperti melesapnya air ke celah rendah manapun yang ia lewati. Tanpa pamrih, apalagi prasangka. Aku sungguh merasa menjadi lebih manusia, manusia-sempurna ketika ia membiarkan membaca, mengenali dan memahaminya lebih dalam.
“Ternyata kamu memang ada untuk menjadi bacaan terbaikku.”
Ia tersenyum.
“Menjadi pintu terbaik atau bahkan satu-satunya untuk memahami makna dari semesta tak terkatakan ini.”
Ia memeluk.
“Eva...kamu bukan hanya potongan yang melengkapi, tapi memang kesempurnaan itu sendiri.”
Ia mencium.
“Eva...tetaplah di sini. Selamanya. Atau kau akan membuatku jadi puing hina, sia-sia.”
Ia menggeluti seluruh inci dan saat hidupku, menciptakan kenyamanan yang bahkan nyawa tak mampu membayarnya. Aku tak kuat menahan airmata untuk kebahagiaan surgawi ini. Eva...kaulah surga sesungguhnya. Aku tak membutuhkan lagi apel, buah apapun, pohon apapun, karna kau pohon dan buah itu yang sebenarnya. Tolong, jangan renggut dirimu dariku, renggut aku dalam dirimu.
Ya Tuhan, mengapa Kau memberi nikmat yang begitu berlebih ini. Jangan...jangan, Tuhan. Janganlah berlebih begini, karena pasti aku tak mampu menanggung bayi yang pasti lahir dari surga yang kumiliki ini, yakni bayi kecemasan. Cemas karena Kaulah yang menghadirkan dan meluputkan surga...Eva, wanita bagi semua Adam ini.
“Eva...kamu dengar itu?”
Hmm...ia memagutku.
“Eva, dengar. Dengar ketakutanku itu.”
Hmmhh...ia merasuk ke seluruh celah kenikmatan dan menutup seluruh pandang.
“Eva...eh...jangan kamu pergi..ok?”
Ia tak bersuara, seperti kebisuan perempuan mencipta peradaban manusia pada intinya.
“Eva..eh...”
....
“Ehhh...ehhhh....”
Ya Tuhan, maaf...maaf, tak mampu aku menanggung kebahagiaan seperti ini.
Pluk...ada tetes, ya airmata yang jatuh. Tapi bukan punyaku.
“Eva...”
Pluk...
“Kamu menangis?”
Langit basah, semesta pun samudera airmata.
“Mengapa...mengapa menangis?”
Ia harus bisu. Tapi matanya seperti dulu. Dengan laut yang lebih dalam, sehingga tak ada malaikat maupun iblis mampu menjangkaunya. “Eva....”
Aku tak tahu apa yang terjadi. Dengan muka yang kuyup...entah sedih atau gembira terlukis di bibirnya...wanita segala nabi itu seperti gambar yang merabun menjelang magrib tiba. Menjauh.
“Mengapa...mengapa Eva?”
Ia tetap menjauh. Tangan tak menggapai. Jiwa pun tak sampai. Kecemasan itu bertamu selekas dan sekuat kepergian itu. Apa yang terjadi?
“Mengapa...mengapa, Tuhan?”
Aku ingin berteriak. Tapi Eva seperti lenyap juga sebagai nama. Berganti ketakutan yang datang seperti kepepatan dimana satu elemen udara pun tak tercipta untuk menghasilkan nafas. Semua terasa menghimpit dan sesak. Bahkan air mata tak tersisa. Hanya sakit. Ya rasa “sakit itu”. “Sakit ini” pun bersatu.
Tuhan.
***
Gelap
Dengan putus asa atau frustasi yang begitu genap, aku memejamkan mata. Menghiang pandang. Aku ingin buta. Aku buta. Aku tak perlu mata. Betapa hikmah besar itu tak tertanggungkan dalam kekerdilan manusiaku. Gelap...Cuma gelap yang kita rasa mampu menghindari kita dari cemas dan takut yang luar biasa.
Namun kau pun paham. Itu sia-sia, tipu daya percuma. Gelap justru mendatangkan cemas yang memalu hatiku kian pilu. Tuhan, betapa sakitnya. Betapa sunyi dan sendirinya, sakit seperti ini. Kenapa gelap tak mampu menutupinya, kenapa cahaya tak kuasa mengusirnya. Tuhan, apa mesti kuperbuat? Masihkah aku membutuhkan mata. Mata mana lagi?
“Bukalah matamu, Adam.”
?
“Hei bukalah matamu!”
?!! Eva?
“Eva siapa? Buka matamu, jangan bersandiwara lagi. Eva siapa?”
Plak!
Aku merasakan sakit, kali ini di pipi. Pipi?
Plak, plak!
Ya, pipiku terasa perih, sakit benar sehingga refleks aku membuka mata.
“Apa yang kamu pikirkan, lamunkan? Perempuan itu lagi? Eva sekarang namanya?”
Sekarang aku benar membuka mata, memandang. Dan sebuah pandangan di depan menghadang.  Pandangan kenyataan: seorang perempuan hampir empat puluhan, dengan tubuh yang coba ia pelihara dengan baik. Tegak di depanku, dengan mata tajam, berupaya lebih tajam dari pisau Swiss, tapi tak berhasil karena keluar negeri manapun ia tak pernah.
Ya, aku kenali sekali siapa yang menghadang pandanganku itu. Dia perempuan yang puluhan tahun ini bersamaku. Istri, istilah umumnya orang. Perempuan yang sudah memberi empat anak, dan menurut dia, membantuku untuk mendapatkan jabatan sebagai manajer di perusahaan exim tempatku bekerja sekarang.
Ia sungguh memandangku dengan serius, dan sinarnya seperti cahaya LED TV terbaruku, atau suratkabar, atau buku sejarah yang mengisahkan sejarah perempuan dengan riwayat-riwayat dahsyat tapi mengalami penindasan permanen oleh kebudayaan yang menurut mereka diciptakan lelaki. Dan aku adalah kompeni yang dilawan habis-habisan oleh keadaban padat dendam ini.
“Dik...”
“Tidak perlu dakdik dakdik...aku mau kamu jawab jujur saja...siapa Eva?”
“Aku gak tahu, Dik...gak ngerti.”
Plak!!
“Dik!”
Bibir perempuan itu tidak perlu monyong untuk cemberut atau marah. Tapi cemberut itu, yang ia sebut seksi, memang menjadi penggoda banyak pria saat aku dulu coba memacarinya. Aku sukses. Ya menikahi dia. Menikahi sejarah masa depan yang hampir membuatku menyesal menjadi lelaki.
Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti animasi yang berulang, suara berdebam yang melewati tiga dinding tetangga akan menjadi musik pembuka saat ia membanting pintu kamar tidur. Lalu seharian ia tidak keluar. Dan keluar beberapa lama setelah aku keluar rumah menjalani general menejerku.
Bila aku tidak bisa memberi jawaban memuaskan mengenai “siapa Eva”, tragik masa depan itu terjadi lagi, jadi semacam tradisi. Aku bangun menjelang subuh, berbenah sendiri, membuat sarapan sendiri, makan sendiri, melap mobil sendiri, memanaskannya, dan berangkat sendiri, tanpa satu pun bisa kusalami.
Sampai bila? Siapa bisa menerka. Karena hingga bila aku bisa menjawab pertanyaan absurd itu: “siapa Eva?” Aku memang tak mengenalnya. Tahu atau ingat pun tak. Hanya seolah ia bayangan yang sangat buram yang pernah menjadi bagian ingatan dari kulit, daging, kepala, hingga mataku. Tapi siapa?
Sesungguhnya kau tidak berani mengorek lebih dalam lagi. Memang masih ada getar aneh yang membuat kudukku meremang, seperti saat aku melihat Jennifer Lawrence berakting atau Adele bernyanyi. Hanya ada satu perasaan gelap sembunyi di situ, ketakutan mengerikan yang tak mampu aku tanggungkan. Apa? Siapa? Mautkah jangan-jangan itu?
Aku tak berani spekulasi lebih jauh. Saat makan siang tiba. Aku membuka tas dan mengeluarkan kotak plastik dimana udapan yang kumasak sendiri menjadi pengisi lunch time-ku. Di meja general manajer ini. Sendiri.

Cemani yang Tak Mau Pergi Penulis : Angelina Enny Disadur dari Kompas , edisi Minggu, 26 Februari 2017.                 Riza ...



Cemani yang Tak Mau Pergi
Penulis : Angelina Enny
Disadur dari Kompas, edisi Minggu, 26 Februari 2017.

                Riza bingung setengah mati. Setengah hatinya ingin melepas si Itam pergi, setengah hatinya lagi berkata tidak. Galaunya melebihi saat ia menimbang akan meminang Rani atau malah meninggalkannya. Seakan mengetahui persoalan hatinya yang tak kunjung reda, si Itam berkokok kencang. Kok! Padahal, hari belumlah pagi. Seiring dengan kokokannya yang makin lama makin keras, aliran darah Riza semakin deras.
          Merah melumuri hatinya. Marah menyelimuti tubuhnya. Ia marah pada segala. Pada orang tuanya, pada dirinya sendiri, pada keadaan. Mengapa ayahnya mati meninggalkan utang? Mengapa pula ibunya sakit di kala ekonomi semakin sulit? Mengapa pula ia harus terlahir sebagai anak pertama yang harus menanggung semua? Dua adiknya masih butuh sekolah. Ibunya perlu obat. Dan, ia butuh otak untuk memutar semuanya.
          Kemarin pagi, Datuk datang kembali. Rupanya belum puas ia membujuk Riza. Setelah dua kali kedatangannya yang kembali dengan tangan hampa, ia yakin ketiga kali ini ia berhasil membujuk Riza. Anak itu sudah kepepet uang, tapi tetap berkeras tidak mau mejual ayamnya. Bahkan kepalanya lebih keras dibandingkan ayahnya yang sudah mati. Ck! Datuk semakin gusar. Ia harus mendapatkan ayam itu. Teringat padanya perkataan Mak Etek, dukun tua dikampungnya saat ia meminta petunjuk perihal ladangnya yang sudah dua kali gagal panen.
          “Pening sekali kepalaku Mak Etek. Kalau begini terus bisa bangkrut aku. Dua kali ladangku diserang tikus. Padahal punya Pak Haji di seberang sana baik-baik saja.”
          “Apa yang sudah Datuk upayakan?” tanya Mak Etek.
          “Sudah kupasang jebakan di lubang-lubang keluar masuk mereka. Malah orangku yang terkena dan bengkak kakinya sehingga tak bisa bekerja. Lalu kucoba bikin pestisida nabati. Kubeli cabai dan jengkol beratus kilo, tapi padiku keburu digerogoti. Pening aku.”
          “Kalau begitu Datuk harus adakan rawutan.”
          “Bagaimana caranya?”
          “Sembelihlah seekor cemani dewasa. Harus yang jantan, berlidah, dan berdarah hitam. Darahnya akan menjaga ladangmu.”
          “Ayam hitam? Itu susah sekali, di mana aku mendapatkannya Mak Etek?”
          “Datuk upayakan saja dulu. Cari di pasar burung, atau datangi peternakan-peternakan ayam. Kalau sudah ada, baru hubungi aku.”
          “Berapa lama waktu yang Mak Etek berikan?”
          “Dua minggu.”
“Baiklah, akan kucari dulu ayam hitam itu.”
“Ingat, lidah dan darahnya harus hitam,” kata Mak Etek.
Kepala Datuk semakin pusing. Di mana ia dapat menemukan ayam hitam? Setahu dirinya, ayam cemani itu sangat langka. Sedikit menyesal ia pergi kepada Mak Etek. Kalau tahu persyaratannya sangat sulit seperti ini, lebih baik ia teruskan saja usaha pembuatan pestisida nabatinya. Mungkin dengan menambah pegawai, pembuatan pestisida itu akan semakin cepat. Tapi dengan menambah pegawai, menambah pula biaya yang harus ia keluarkan. Padahal, penghasilan dari ladangnya pun sudah tidak ada. Ah, arah sudah tidak bisa diputar lagi, pikirnya. Sekali pergi ke Mak Etek, maka ia harus menyelesaikan urusannya sampai tuntas. Sebab dukun tua itu terkenal sakti dan pemarah. Kalau ia sampai tidak kembali lagi, bukan tidak mungkin usahanya semakin sulit karena dikutuk Mak Etek. Bahkan menurut desas-desus orang di kampungnya, Mak Etek mamapu mengutuk orang menjadi binatang. Dan, di rumahnya, Mak Etek memang banyak memelihara binatang. Ada ayam, itik, kucing, biawak, burung hantu, musang, dan entah apa lagi. Bahkan konon ayam balenggeknya yang pandai bernyanyi itu adalah sihirnya atas penyanyi dangdut keliling dari Pekanbaru yang gagal membayarnya. Datuk bergidik. Sesisip angin membelai tengkuknya. Sekilas angin itu pergi, segera ia panggil Sobari, pegawai kepercayaannya.
“Bari...”
“Ya, Datuk.”
“Kau tahu persoalanku semakin sukar.’
Tentu saja Sobari tahu masalah yang sedang menimpa majikannya. Kesusahan Datuk lambat laun menjadi persoalan juga buatnya. Jika majikannya sampai bangkrut, ia pun bisa jadi dipecat dan bagaimana pula ia bisa menghidupi menghidupi kelurga dan memenuhi selera belanja Ros, istrinya yang cantik dan dipujanya. Karena itu, ia berusaha keras untuk membantu sang Datuk memulihkan ladangnya. Terdengar olehnya selintingan kabar bahwa Pak Haji di kampung seberang berhasil melalui dua musim panen ini. Padahal, ladangnya tidak lebih luas daripada ladang majikannya. Seperti tikus-tikus sialan itu enggan berkeliaran di ladangnya.
“Ia pasti pakai jimat,” ujar Ros.
Perihal kesukaran majikan suaminya tentu juga mempengaruhi jatah uang belanjanya. Ros khawatir ia tidak bisa lagi membeli baju-baju cantik mentereng dan makeup warna-warni terbaru di kota. Ia malu jika tidak bisa pamer pada ibu-ibu tetangga di acara arisan desa. Statusnya sebagai istri cantik nan muda bisa lengser digusur perempuan lain.
“Coba kau suruh Datuk ke Mak Etek.” Ros memberi saran suaminya.
Ia sering mendengar gosip para ibu tetangga kalau Mka Etek yang sakti itu bisa membantu apa saja. Bahkan ada beberapa istri yang curiga kalau suaminya main serong, pergi ke Mak Etek dan dua hari setelahnya terlihat mesra dengan sang suami seperti pengantin baru.
Saran itu diteruskan oleh Sobari ke majikannya, dan sampailah Datuk pada persoalan mencari cemani.
“Saya sudah mencarinya sampai ke Pasar Padang Panjang, Datuk. Ayam cemani di sana masih terlalu muda. Saya sampai datang ke peternakan pemiliknya. Ada beberapa cemani yang sudah besar, tapi mereka tidak membiarkan saya melukai ayamnya. Padahal, saya harus mengetes apakah darah yang keluar berwarna merah atau hitam.”
Datuk termenung. Pikirannya sekusut hatinya. Memang benar, seharusnya ia tidak usah pergi ke Mak Etek kalau tahu persoalannya akan bertambah satu laku. Sudah lewat seminngu ia belum mendapatkan cemani yang disyaratkan oleh Mak Etek.
“Tapi Datuk,...” kata Sobari ragu-ragu. “Sebenarnya ada satu cemani di Kampung manggis ini. Istri saya sering melihatnya.”
“Di mana itu?”
Datuk langsung bangkit dari kelesuannya. Harapan mendadak menyegarkan wajahnya.
“Di sebelah rumah saya, si Riza, anak Rais yang ketimpa longsor di Bukit Tui bulan lalu. Dia piara cemani, Datuk. Cemaninya gemuk dan sehat. Tempo hari, tak sengaja sempat beradu dengan ayam jago saya. Ayam cemani itu terkena patuk, dan dia sedikit luka. Darahnya hitam, Datuk. Benar!”
“Kalau begitu, aku harus segera mendapatkannya.”
“Tapi...sepertinya harus Datuk sendiri yang memintanya. Si Riza ini tampak sayang sekali pada ayamnya. Karena Datuk orang terpandang, mungkin ia juga segan kalau menolak permintaan Datuk.”
Petang hari itu juga, Datuk dan tangan kanannya berangkat ke rumah Riza. Dari Sobari, ia mengetahui kalau ibu Riza sakit keras. Asmanya semakin parah sejak ditinggal mati suaminya. Riza pastilah membutuhkan uang untuk ibunya berobat. Belum lagi untuk menyekolahkan kedua adik perempuannya yang masih kecil. Datuk berani membayar mahal untuk ayam itu. Lamak di awak, katuju di urang!
Seperti kata Sobari, ayam itu ayam cemani yang sangat sehat. Tubuhnya padat seperti ayam jago petarung. Bulu-bulunya hitam mengkilap tertimpa matahari senja. Paruhnya kecil tajam seperti mata badik dengan hiasan sepasang pial. Matanya cerdas menatap, di bawah jengger bergonjong enam seperti pucuk rumah gadang. Dengan ekor terjurai megah, ia bertengger di atas pagar kayu. Kok! Mendadak ia membuka paruh, memamerkan bilah lidahnya yang berwarna hitam juga. Lalu ia melompat dan berlari ke arah rumah. Kaki-kakinya kokoh dan sekilas terlihat oleh Datuk tajinya runcing mematikan. Meskipun bukan ayam petarung, pastilah ayam ini kuat.
“Maafkan saya, Datuk. Saya tidak mau menjual si Itam.”
Begitulah penolakan Riza yang sudah dua kali didengarnya. Keras sekali pendirian anak itu. Persis seperti Rais, ayahnya sewaktu ia ingin menjadikan Rais sebagai pegawai untuk menjalankan koperasi miliknya. Usaha peminjaman harian pada penduduk sekitar dengan bunga yang lumayan menguntungkannya. Usaha yang melibatkan uang tunai seperti itu membutuhkan orang yang dapat dipercaya. Datuk tidak dapat berkeliling kampung sendiri, menawarkan pinjaman atau pun menagih utang harian dari rumah ke rumah. Ia butuh orang yang jujur dan berani. Dan, Datuk memilih Rais, karena Rais terkenal sebagai orang yang sangat jujur di kampung itu. Selain itu, Rais juga masih mempunyai utang pada Datuk dan Datuk berjanji untuk memberikan potongan bunga jika Rais mau membantunya. Tetapi Rais lebih memilih untuk tetap bekerja sebagai penambang kapur sampai Bukit Tui menguburnya. Dasar kepala batu! Diturunkannya pula sikap itu pada anaknya.
“Kau tidak mau beli obat untuk ibumu? Kalau kau jual di Pasar Padang Panjang, paling laku 700 ribu. Aku bisa kasih kamu lima juta supaya kamu bisa bawa ibumu ke rumah sakit di Bukit Tinggi.”
Sudah dua kali Datuk menaikkan tawaran. Pertama kali ia datang, ia menawarkan satu juta untuk Riza. Kedua kali, ia naikkan tawaran menjadi dua setengah juta. Sekarang Datuk benar-benar heran jika Riza masih juga mau menolaknya.
“Maafkan saya, Datuk. Saya tidak mau menjual si Itam.”
Kalimat itu lagi. Dan, pagi itu, Datuk kembali pulang dengan tangan hampa.
Sesungguhnya apa yang menjadi kegalauan Riza, tak lain adalah karena rasa sayangnya. Si Hitam sudah seperti sahabatnya sendiri dan ayam itu memang seperti mengerti dirinya. Riza menemukan si Itam di aliran sungai kecil di dekat Bukit Tui, seminggu setelah peristiwa mengenaskan yang menimpa ayahnya.
Bencana memang tidak dapat diduga. Saat itu hari Minggu pagi dan ia sedang bermalas-malasan sambil membaca buku sewaktu ia mendengar gemuruh dari arah Bukit Tui. Lewat beberapa menit, barulah ia sadar kalau ayahnya pergi menambang hari ini.
Kok duduak marauik ranjau, tagak maninjau jarah. Nak kayo kuek mancari, nak pandai kuek baraja2. Agar dapat lebih banyak kapur untuk kamu pergi kuliah.” Kata ayahnya pagi itu.
Ayahnya tahu, ia ingin sekali melanjutkan sekolah tinggi seni. Karena itu pula, ia memutuskan Rani, kekasihnya karena gadis itu menuntut untuk segera dikawini begitu lulus SMA. Bagi Riza, pencapaian diri itu perlu sebelum ia mulai membentuk keluarga. Ia tidak ingin hidup ala kadarnya. Paling tidak, ia membawa keluarganya untuk lebih sejahtera. Untuk itu ia harus kuliah, da ayahnya mendukungnya.
Tetapi apa mau dikata, ayahnya pergi tak kembali. Benar-benar tak kembali meski dalam bentuk jenazah. Tim penyelamat tidak mampu menemukannya dan menyerah tiga hari sesudahnya. Riza pergi sendiri seminggu setelahnya. Menyusuri Bukit Tui dari pagi hingga petang, tanpa memedulikan tulisan larangan di sekitar tambang. Namun, bukan ayahnya yang ditemukannya, tetapi seekor ayam jantan hitam yang ditemuinya sedang mengorek pasir di dekat aliran sangai sebelah timur Bukit Tui. Segera dibawanya pulang ayam itu, karena pikirannya ayam hitam itu dapat dijadikan obat untuk asam akut ibunya. Seseorang di pasar pernah berkata demikian, kalau ayam hitam dapat menyembuhkan segala macam penyakit.
Di luar dugaan, ibunya menolak usulan itu.
“Jangan, musyrik,” katanya. “Ibu hanya perlu obat.”
Tapi ia tidak punya uang. Honornya sebagai penulis cerita di koran-koran hanya cukup untuk mengisi lambung. Dan kini, saat seorang Datuk mampu membantu mengobati ibunya, ia malah terlanjur sayang melepas si hitam.
Kokokokok!
Kokok si Itam semakin melengking. Memutuskan lamunannya, Riza segera bangkit ke luar. Sekelebat pandangan mata dilihatnya bayangan berlari ke arah jalan. Lalu matanya terpaku ngeri. Dilihatnya si Itam tergeletak menyamping di dekat pagar katu. Bilah lidahnya terjulur ke luar seakan ingin terus berkokok, tetapi yag keluar dari paruhnya hanyalah erangan rendah. Darah pekat mengenangi di sekitar lehernya yang terkulai patah. Dua buah tajinya hilang entah kemana. Nyeri mulai naik merambati hati Riza. Dari pandangan mata si Itam, ia melihat setitik cahaya, entah embun atau air mata. Dan, mata itu mengingatkan pada mata yang lain, yang datang dari balik ingatan, semakin redup dan akhirnya menutup seiring lantunan azan subuh yang sayup.