Harimau Belang Penulis : Guntur Alam Disadur dari Kompas , edisi Minggu, 12 Januari 2014. Masuk dalam “Cerpen Pilihan Kompa...

Harimau Belang



Harimau Belang

Penulis : Guntur Alam
Disadur dari Kompas, edisi Minggu, 12 Januari 2014.
Masuk dalam “Cerpen Pilihan Kompas 2014”

Menot mengusap perutnya yang tengah hamil lima bulan. Hatinya sedikit cemas. Hujan yang tak kunjung reda membuatnya teringat dengan Nalis, lakinya yang sudah pergi sejak subuh. Bukan pergi menyadap karet seperti biasa. Bukan. Nalis dan lanang-lanang dewasa dusun Tanah Abang sedang pergi berburu. Bukan asal berburu pula, tapi berburu harimau belang.
Tengkuk Menot meriap, bulu kuduk di lengannya juga ikut berdiri ketika dia menyebut hewan itu dalam hatinya. Harimau Belang. Binatang yang selama ini mereka keramatkan. Orang-orang Tanah Abang percaya, harimau belang adalah titisan leluhur dari masa silam. Puyang, begitulah mereka menyebutnya.
Harimau belang tak boleh diburu. Tidak boleh dibunuh. Bila ada yang berpapasan dengannya di rimba karet ataupun belukar, biarkan saja harimau itu lewat. Atau jika seseorang melintas di hutan dan ada harimau belang, dia harus permisi.
Lantas, apa pasal yang membuat orang-orang Tanah Abang berbalik arah?
Sebulan silam, harimau bel ang keluar dari rimba, masuk ke dusun dan memangsa ternak. Beberapa kambing sudah dimakan, juga anak sapi. Mula-mula orang dusun tak tahu ikhwal ini, mereka menduga dusun sudah tak aman. Ada maling yang mengondol hewan-hewan itu. Seminggu kemudian beberapa orang menyaksikan sendiri, harimau belang berukuran besar menyergap kambing yang sedang merumput di darat dusun, batas kampung dengan rimba.
Cerita tentang harimau yang menyergap kambing milik Seron itu segera edar. Orang-orang yang penasaran segera mengikuti jejak harimau yang membekas di tanah, juga bekas badan kambing yang diseret. Hanya beberapa ratus meter, mereka menemukan tulang belulang dan sisa-sisa kambing malang itu. Di sana pula, orang-orang kampung menemukan sisa hewan lainnya yang mulai membusuk.
Lantaran inilah, orang-orang mulai memasukkan ternaknya ke dalam kandang. Atau hewan-hewan itu diikat dan merumput di tengah dusun. Tak dibiarkan lagi berkeliaran sampai dekat hutan rimba itu. Tapi inilah kesalahan besar itu. Rasa lapar diperutnya, membuat harimau mengubah sasaran. Tiga minggu tak mendapatkan ternak lagi, dia menyergap anaknya Kudik. Bocah laki-laki enam tahun itu diterkamnya saat tengah bermain perang-perangan dengan kawan-kawannya di darat dusun. Kawan-kawannya histeris. Pucat pasi dan lari terbirit-birit, meninggalkan bocah malang itu menjerit-jerit dan diseret harimau itu ke dalam rimba. Gemparlah dusun Tanah Abang jelang siang itu. Waktu yang semestinya tengah mati lantara orang-orang muda dan kuat tengah bergumul dengan pokok karet, tambang batubara Serpuh, atau bergumul dengan gelondongan kayu di BHT, pabrik bubur kertas, di kecamatan. Baru kali ini, sepanjang sejarah Tanah Abang, puyang menyerang dan memakan manusia. Lanang-lanang berbondong mengejarnya. Malangnya, anak lanang Kudik itu sudah tewas
***
          “BESOK aku akan ikut orang-orang berburu rimau,” ucap Nalis tadi malam, ketika dia dan Menot duduk di dapur. Kedua anak lanangnya, Latas dan Pebot, sudah tertidur pulas di tengah limas. Menot segera menoleh, lakinya itu terlihat menyeruput kopi hitam yang Menot letakkan di atas meja.
          “Tak usahlah, Bang. Nanti kualat berburu puyang,” Menot tak ingin ada hal buruk menimpa Nalis, dia, dan anak-anaknya. Terlebih Menot tengah mengandung anak ketiga mereka. Perempuan berumur dua puluh enam tahun itu masih percaya jika seseorang tengah hamil , lakinya tak boleh berbuat macam-macam dengan binatang.
Keyakinan ini makin kuat karena ketabuan ini bukan mitos semata. Anak pertama Ceok lahir dengan badan lumpuh layu, tak bisa bergerak,  terkapar saja di kasur walau bujang itu sudah berumur lima tahun. Dulu, saat bininya hamil muda, Ceok sempat menghajar ular hitam yang dia temui di kebun karetnya. Ular itu melarikan diri,  tak mati tapi babak belur kena pukulan kayu dari Ceok. Saat anaknya lahir, anaknya lumpuh layu. Orng-orang dusun mengatakan, Ceok kualat gara-gara ular hitam itu.
Tak hanya tentang Ceok. Anak gadis Genepo yang sekarang berumur empat tahun juga mengalami nasib malang. Bibirnya sumbing, lidahnya sedikit belah di ujung, dan anak cantik itu gagu. Melihat kondisi anak gadisnya, tersiar kabar kalau laki-laki berperawakan gempal itu bercerita, saat bininya hamil empat bulan, dia pergi mancing ikan baung di Danau Piabong. Seekor baung terjerat pancing tiba-tiba lepas dan jatuh ke danau lagi saat Genepo hendak memasukkannya dalam keranjang. Bibir ikan itu sobek dan mulutnya rusak karena kail pancing. Mendengar itu, orang-orang dusun mengatakan, nasib malang anaknya kutukan dari ikan baung.
Nah, bagaimana Menot tak cemas ketika Nalis bercerita hendak berburu harimau belang. Binatang yang sudah puluhan tahun, bahkan ratusan tahun dianggap keramat oleh orang dusun mereka. Menot tak dapat membayangkan akan seperti apa nasib yang menimpa anak dan kandungannya ini kelak.
“Kalau tak dibunuh, rimau itu akan makan orang lagi. Iya kemarin anak lanangnya Kudik, besok-besok bisa jadi anaknya kita,” tukas Nalis.
“Tapi, Bang,” Menot masih berusaha membantah, dia melabuhkan matanya ke arah Nalis. Keduanya berpandangan dalam temaram lampu dapur. “Aku takut terjadi hal buruk. Kau tahu sendiri aku tengah hamil. Rimau juga sangat buas. Kau bisa mati kalau diterkamnya,” Menot memasang wajah memelas.
“Aku tak bisa, Dik. Semua lanang sudah bermufakat di rumah kades kemarin malam, kita akan memburu rimau ini. Kau tenang sajalah, ada ratusan orang. Bukan aku sendiri yang mengejarnya.” Menot tak bisa berkata apa-apa lagi. Terlebih dia tak bisa menghapus bayangan istri Kudik yang menangis meraung-raung saat melihat anaknya pulang tak bernyawa. Tercabik-cabik. Perempuan berumur tiga pulih tahunan itu jatuh pingsan berkali-kali.
“Fajar anak Samin diterima jadi satpam di BHT,” ucap Nalis lagi, tiba-tiba. Menot tersentak, ia menoleh. “Lumayan besar gaji jadi satpam. Sayangnya orang-orang dusun kita cuma kebagian jadi satpam, tukang tebang pohon, tukang angkut kayu, di pabrik bubur ketas itu. Tak ada yang diangkat jadi bos.”
“Harus tamat kuliah kalau nak jadi bos, Bang,” sahut Menot.
Tiba-tiba terlintas pikiran ganjil dalam benaknya mendengar ucapan Nalis tadi. apakah mungkin harimau belang jadi turun ke dusun gara-gara hutan rimba di sini semakin sedikit? Pikiran ini menyelinap karena tiba-tiba Menot teringat berita di tivi uang pernah dia tonton. Di daerah Jawa monyet-monyet ekor panjang keluar dari hutan dan menyerbu rumah-rumah karena kelaparan.
Perempuan itu langsung teringat jika puluhan hektar hutan di hulu dusun itu sudah digunduli. Kayu-kayunya ditebang dan dijadikan bubur kertas. Tak hanya riba itu yang berubah, sejak pabrik kertas BHT  berdiri empat tahun lalu di hulu dusun, air Sungai Lematang jadi sering keruh. Dulu sungai akan keruh bila musim hujan dan meluap. Sekarang hampir setiap bulan air sungai berubah kuning kecoklatan dan berurat-urat. Badannya juga gatal-gatal jika mandi di Lematang sekarang. Itulah kenapa dia lebih memilih mandi di Danau piabong, danau di darat dusun.
          Lalu pikiran Menot melayang ke Serpuh. Dua tahun ini, orang dusun Tanah Abang dan dusun-dusun sekitarnya heboh bukan kepalang. Beberapa orang jadi kaya mendadak karena tanahnya kena operan Serpuh. Kata orang-orang yang Menot dengar, kebun-kebun karet yang dibeli Serpuh itu mengandung batubara. Tak lama beberapa kebun karet berpindah tangan, jalan-jalan baru untuk mobil-mobil truk dibuka. Beberapa bujang Tanah Abang tamatan SMA melamar kerja di sana dan diterima; jadi tukang gali batubara.
          Menot yakin sekali pikirannya itu benar. Harimau belang itu turun ke dusun karena kelaparan. Hutan rimba tempat ia berarang dan beranak pinak sejak zaman nenek moyangnya semakin hilang.
Tak mungkin puyang memakan ternak bahkan orang kalau tak terpaksa, batin Menot. Dia hendak berucap, menggatakan semua hal yang bersarang dalam kepalanya. Tetapi perempuan yang hanya tamatan SD itu tidak berani bersuara. Lakinya tak akan mendengarnya. Kalau pun dia didengarkan, apa yan bisa mereka perbuat? Pabrik bubur kertas itu sudah berdiri, tambang batubara juga sudah ada. Ah, kepala Menot berdenyut-denyut dibuatnya.
***
          Jarum jam bergambar Kabah tergantung di dinding tengah rumah limas sudah menunjukkan angka lima lewat sepuluh menit. Hujan masih merincis di luar sana, belum ada tanda akan reda, Nalis pun belum pulang.
          Menot sudah selesai masak makan malam. Hatinya masih diserang cemas. Dia ingin memastikan Nalis tak menyentuh harimau itu. Diliriknya lagi jarum jam, di ingin mandi, tapi hujan belum reda jua. Kalau ke Sungai Lematang, mungkin masih akan ramai, tapi kalau mandi ke Danau Piabong yang berjarak beberapa ratus meter dari rumahnya itu, sudah pasti akan sepi. Masalahnya kulit Menot akan gatal semalaman jika dia nekat mandi di Lematang.
          “Tas, jaga adik. Emak nak mandi ke Piabong,” ucapnya pada Latas, anak sulungnya yang berumur sembilan tahun itu. Bocah itu hanya menoleh sekilas dan mengangguk, lalu matanya kembali  tertuju ke layar tivi yang menayangkan film kartun Spongebob. Sementara Pebot, adiknya yang berumur lima tahun duduk disampingnya.
          Menot bergegas menuruni anak tangga dapur, dia membawa payung dan tak bersendal karena takut terpeleset tanah licin. Dicengkeramnya tanah kuat-kuat saat berjalan. Perutnya yang hamil lima bulan sedikit menyulitkan langkahnya. Tebakan Menot benar, Danau Piabong sepi. Tak ada satu pun yang mandi di pangkalan. Tanpa menunggu lama, dia segera merendam dirinya di dalam air, rasa air yang sejuk dan hangat menyentuh kulitnya. Dia segera bersabun dan sedikit terlena dengan air itu.
          Hampir lima belas menit Menot mandi. Dia tersadar saat merasa langit kian gelap. Perempuan itu keluar dari air, menjangkau handuk di bawah payung pinggir danau, dan tergesa ingin pulang. Tetapi langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu di depannya. Ember sabun mandi di tangan Menot terjatuh. Seekor harimau belang bertubuh besar tengah berdiri menatapnya. Mata hijaunya sangat tajam. Kedua kaki kanannya terlihat mengambil ancang-ancang. Menot lemas. Jantungnya bergemuruh hebat.
          “Puyang,” desisnya.

0 komentar: