Dua Sahabat dan Cerita Anjing Rabies “Kau lihat anjing-anjing itu,” tanya Joni dengan mata lurus ke arah dua ekor anjing yang seda...

Dua Sahabat dan Cerita Anjing Rabies



Dua Sahabat dan Cerita Anjing Rabies
“Kau lihat anjing-anjing itu,” tanya Joni dengan mata lurus ke arah dua ekor anjing yang sedang bersenda gurau, berkejaran.
“Ya, aku melihatnya. Kenapa?” jawab Jono dengan sedikit tanya, sembari menyeka keringat di dahinya. Menenteng cangkul di bahu kanan dan caping menempel erat di atas kepalanya.
Kedua sahabat ini berteman semenjak belum lahir. Ya, mereka telah berbicara satu sama lain sejak masih dalam kandungan ibu masing-masing, diwakilkan oleh ibu-ibu mereka tentunya. Bahkan nama pun dimirip-miripkan, seakan kembar. Ya, kembar beda rahim.
“Sungguh, anjing-anjing kita lebih bersih dari anjing-anjing kota,” Joni bicara tanpa mengurangi laju langkah kaki seorang pekerja keras yang tanpa keraguan menjalani hidup. Seorang pemuda cerdas yang baru setahun lalu lulus SMA dan tak ada biaya untuk kuliah. Senasib dengan sahabatnya, tapi Jono memang lemah semangat untuk mengejar ilmu, lebih senang bercengkerama dengan terik matahari dan ayunan cangkul.
“Bukannya anjing-anjing kota dirawat dan diberi makanan yang kadang lebih mahal dari makanan kita, sedangkan anjing-anjing desa kita berkeliaran di jalanan dan memakan apapun makanan yang bisa mereka makan di jalanan,” Sanggah Jono.
“Kau ingat saat aku terpilih mewakili SMA kita untuk ikut program pembinaan karakter di Jakarta,” belum Joni menyelesaikan kalimatnya, langsung dipotong oleh Jono. “Kau mau pamer lagi? Belum puas mengejek dengan mendahului menggapai salah satu cita-cita kita” Jono melongos kesal.
Joni terkekeh, “Kau suka suuzan denganku, padahal buka itu niatku.” Di langit, matahari sudah menunduk. Percakapan diselingi dengan menegur warga lain yang berpapasan. Memang sekarang jamnya pulang dari sawah.
Jono masih bingung dengan perkataan sahabatnya. Mencoba mencerna kata demi kata dari setiap kalimat yang keluar. Namun dia masih bingung kenapa Joni berkesimpulan demikian.
“Sewaktu aku di Jakarta, salah satu pemateri yang mengatakan demikian,”
Jono malah tambah bingung. “Aku akan sedikit mengulang cerita dari pemateri itu, anggap saja oleh-oleh ilmu dari Jakarta satu setengah tahun yang lalu,”
“Sudah 18 tahun kita berteman, dan kau pun sudah hapal betul oleh-oleh yang kuinginkan dari Jakarta bukanlah cerita,” muka hitam legam Jono semakin jelek dengan wajah dilipat tanda kesal.
“Ya daripada tidak ada sama sekali, kaupun tahu tak seperak pun uang jajan yang masuk ke kantongku. Untung makannya ditanggung. Kalau tidak aku sudah luntang lantung di sana,” Joni berkeluh kesah mengingat pengalamannya, sebuah pengalaman yang menyenangkan dengan bumbu-bumbu kemirisan kecil yang mengiringinya. Hanya dibalas menaikkan sudut kiri oleh Jono.
“Waktu itu,” Joni mulai bercerita, “Dia mengatakan bahwa di sekitar pembangunan gedung milik pemerintah, banyak gerobolan anjing-anjing rabies yang berkeliaran. Tidak terurus. Menyelip diantara tembok-tembok rapuh dan keropos, tidak segagah yang disangkakan. Kau tahu rabies?” Joni menanyai Jono, agar ceritanya tak terlau membosankan. Karena sadar dia bukan pencerita yang baik.
“Ya, aku tahu itu virus menular yang menyerang mamalia. Berhentilah menganggapku bodoh.”
Joni terkekeh, “Kapan kau berhenti berpikir buruk tentangku,” lalu melanjutkan ceritanya tanpa sempat diperpanjang oleh Jono. “Awalnya anjing-anjing itu normal saja, layaknya anjing yang sehat. Namun semua berubah saat nada gonggongan tak lagi sama. Seakan beda di lidah beda di hati. Seiring waktu makin lama menggonggong tak karuan meski tak ada apa-apa. Setelah itu akan terjadi gangguan fungsi otak. Anjing jinak jadi beringas, mulai menggigit ajing-anjing lain seakan mengajak untuk gila bersama,” cerita Joni terhenti sebentar, mebengok ke arah Jono..
“Apakah mereka tidak divaksin?” Jono bertanya, berarti dia menyimak ceritanya dengan baik.
“Mereka sudah divaksin sejak masih kecil. Namun nampaknya kalah kuat dengan virus itu,” Joni memindahkan cngkul dari bahu kiri ke bahu kanan. Sebelum Jono bertanya apakah tidak ada upaya lain, dia sudah menjawab duluan. “Ada upaya lain yang sudah dicoba, termasuk menangkap dan mengurung mereka. Menyatukannya dalam satu kandang. Namun anehnya antr sesama anjing yang sudah terinfeksi mereka tidak saling gigit. Lalu dokter hewan coba memasukkan seekor anjing sehat. Tak sampai lima detik langsung penuh dengan bekas gigitan dan bergabung dengan gerombolan anjing gila lainnya,”
Jono kembali bertanya, “Kenapa tidak dibunuh dan dibakar saja,” Joni teringat, itu adalah pertanyaan yang sama yang ditanyakannya pada pemateri. “Mereka terlalu takut akan dibilang tidak berperikehewanan, meski tahu anjing-anjing rabies yang semakin hari semakin banyak itu tidak hanya membhayakan anjing-anjing lain, tetapi juga dapat menularkan virusnya ke manusia melalui liurnya.”
Lelah mencangkul seakan bertambah dengan jauhnya jarak antara rumah dan sawah. Namun sedikit terlupakan dengan cerita dari Joni. Cerita yang menarik, setidaknya lebih menarik dari cerita-cerita tempo hari.
Terlihan anjing berlarian di halaman mesjid yang berdampingan dengan gereja. Sungguh anjing desa yang bertoleransi tinggi. Namun coba dihalau dengan ganggang sapu oleh penjaga mesjid yang hendak menggelar sajadah untuk solat maghrib. Mata kedua sahabat kompak menoleh ke mesjid.
“Aku yakin kau juga sependapat denganku,” Joni bersitatap dengan sahabatnya. “Kalau anjing-anjing gila itu dibunuh dan dibakar, masalahnya pasti selesai. Masa bodoh dengan perikehewanan, perikeadilan, dan tetek bengeknya. Ganti saja anjing gila itu dengan anjing-anjing lain yang lebih cantik.”
Mereka berjalan tanpa jeda. Sendal jepit butut itu menjadi saksi keras dan tajamnya kerikil jalanan desa. Kalau bisa bicara, sendal itu sudah teriak kesakitan.
Rumah-rumah yang masih jarang dan dengan jarak yang berjauhan membuat kesan sepi pada desa itu. “Aku yakin 10 tahun lagi desa ini akan padat,” terkenang ucapan Jono seminggu lalu saat menyantap bekal makan siang di tengah sawah. Terlewati Poskaming tempat mereka berjaga malam. Kebetulan malam nanti giliran mereka, bersama tiga orang lain. Itu artinya besok bebas tugas dari sawah. Mana tahan setelah semalaman bergadang, paginya langsung menayun cangkul.
Buk Retno, pemilik warung yang ramah tempat anak-anak muda menghabiskan malam kalau tak ada kerjaan menyapa kedua sahabat ini. “Wah rajinnya dua pemuda ini, kalau saya punya anak perempuan, sudah saya jodohkan dengan kalian,” Dibalas senyum kompak oleh mereka.
Berita sore dari tivi yang sengaja diletakkan buk Retno di depan warung untuk warga menonton bola menari perhatian Joni. Nyaring suaranya jelas terdengar, meski antara jalan dan warung berjarak 10 meter. Berita tersebut berbunyi, “Korupsi pemberian izin pengelolaan lahan di Kalimantan Barat menjerat salah satu petinggi di Kementerian Pertanian.”
“Lihat, satu lagi anjing rabies tertangkap dan akan menyusul anjing-anjing lain yang akan memenuhi sangkar hingga tidak akan tertampung kalau tak ada penanganan serius,” Joni melanjutkan bicara.
Kebingungan apa sebenarnya yang sedang dibicarakan Joni terjawab. Memang sedikit terlambat menyadari. “Oh ini anjing rabiesnya.”

0 komentar: