Darah pembasuh Luka  Penulis : Made Adnyana Ole Disadur dari Kompas , edisi Minggu, 23 Februari 2014. Masuk dalam “Cerpen Pil...

Darah pembasuh Luka



Darah pembasuh Luka 
Penulis : Made Adnyana Ole
Disadur dari Kompas, edisi Minggu, 23 Februari 2014.
Masuk dalam “Cerpen Pilihan Kompas 2014”

Luka di lutut kiri Tantri tumbuh lagi. Mula-mula hanya bintik kecil dengan bunga nanah yang anggun. Tapi kemudian membesar. Bintik itu mengembang seperti gunung kecil dengan kawah nanah yang siap meledak menjadi borok.
Tantri ngeri. Karena luka sekecil apa pun yang muncul pada lutut kiri adalah soal amat besar bagi hari-hari yang akan dilewatinya. Bukan hanya hebatnya sakit yang dirasakannya, namun lebih karena luka pada lutut kiri akan menyeret ingatannya kepada sebuah gumpalan waktu yang teramat kelam. Waktu, yang jika mampir dalam kotak ingatan, akan memberi Tantri sebongkah rasa sakit melebihi rasa sakit dari luka paling parah.
Gumpalan waktu yang kelam itu memang memberi tanda-tanda akan muncul kembali. Saat luka di lutut kiri Tantri benar-benar jadi borok, Bontoan tiba-tiba pamit dari rumah sembari menjinjing sebilah pedang. Hulu pedang yang dibalut sarung dari kulit sapi itu sempat diacungkan ke arah langit sebelum diselipkan di bawah jok mobil merah jenis jip tanpa atap. Mobil itu pinjaman dari seorang tokoh partai dan Bontoan boleh memiliki seutuhnya jika tokoh itu berhasil menjadi anggota Dewan pada pemilu tahun ini.
“Ke mana, Kak? Tanya Tantri.
“Ke Jalan pahlawan. Ada spanduk dan gambar partai dirusak massa,” sahut Bantoan dingin. Lelaki itu melompat ke jok depan, menginjak gas dan mobil melesat di jalan menuju pusat kota.
Belakangan ini lelaki yang sudah tiga puluh tahun hidup bersamanya itu memang seperti preman kampung yang selalu siap membalas dendam, entah kepada siapa. Gelagat itu muncul sejak ia dipecat sebagai satpam di sebuah tempat hiburan malam di Kuta karena berkelahi dengan tamu. Usai dipecat, ia mengancam bekas bosnya dengan todongan pedang, tapi justru kemudian ia sendiri bonyok dikeroyok sepuluh orang. Belakangan diketahui pengeroyok itu anggota ormas yang cukup ditakuti di Bali.
Bantoan masuk rumah sakit. Keluar dari rumah sakit id masuk penjara. Pengadilan memutuskan ia bersalah membawa senjata tajam dan melakukan pengancaman. Sedangkan para pengeroyoknya bebas karena dianggap membela diri. Keluar dari penjara, Bontoan dibujuk teman-temannya masuk ormas di Denpasar. Bontoan langsung mau. Ia mau karena ormas itu musuh dari ormas yang dulu mengeroyoknya. Tantri tahu ormas adalah organisasi kemsyarakatan yang dibentuk secara legal bahkan pengurusnya kerap dilantik Gubernur atau Bupati. Namun baginya ormas tak lebih dari himpunan massa yang kadar kekuatannya diukur dari seberapa banyak jumlah anggotanya dan tingkat kemasyhurannya dihitung dari seberapa sering mereka berkelahi.
Sejak masuk ormas, Bontoan kerap keluar rumah tanpa kenal waktu. Kadang pamit kadang pergi begitu saja. Apalagi menjelang pemilu. Bontoan sealu keluar rumah membawa senjata tajam. Alasannya macam-macam tapi lebih sering berhubungan dengan partai. Ini karena ormas Bontoan memang disewa oleh sebuah partai politik dengan tugas mengawal tokoh-tokoh partai, mengamankan kegiatan partai sekaligus menjaga atribut-atributnya. Lelaki itu bersemangat dan selalu terkesan terburu-buru, karena ormas yanng dulu pernah mengeroyoknya kini disewa oleh partai politik lain, sebuah partai yang menjadi saingan dari partai yang dibela Bontoan.
Kenyataan itulah yang membuat Tantri makin ngeri ketika Bontoan pergi membawa pedang untuk membela spanduk partai yang dirusak massa. Terutama karena situasi itu terjadi bersamaan dengan borok yang terus mengembang di lutut kirinya. Partai politik, massa, pedang dan luka di lutut kirinya adalah hal-hal yang berhubungan dengan satu titik waktu paling kelam dalam riwayat hidup Tantri.
Luka di lutut kiri tantri pernah muncul sekira tahun 1965. Saat itu ia baru kelas empat SD. Seperti saat ini, luka itu juga tumbuh dan muncul begitu saja. Tanpa diawali dengan goresan benda runcing semisal ranting kayu kering atau sisi pipih rumput ilalang, Tanpa dimulai dengan sayatan benda tajam semisal pisau dapur atu huu kapak besi. Luka itu muncul begitu saja. Ibunya selalu rajin mengolesi luka Tantri dengan ramuan rempah dicampur tumbukan daun-daun semak. Bahkan Tantri sempat dibawa ke rumah mantri kesehatan di desa tetangga. Ia disuntik dan diberi salep. Tapi luka di lutut kiri Tantri tak kunjung sembuh.
Ketika luka itu jadi borok, Tantri seakan menggali derita panjang ditengah kubang kutuk yang tak terelakkan. Awalnya ia masih bisa memaksa diri berjalan kaki ke sekolah, menempuh jarak 3 kilometer, dengan menyebrangi dua sungai berbatu, mendaki tiga bukit kecil dan menuruni tiga jurang di tengah hutan-hutan bambu. Meski ia harus menyeret paksa kaki kirinya, namun ia bisa melewati jalan-jalan sulit dengan hati gembira. Itu karena teman-teman sekolahnya selalu siap membantu sekaligus menghiburnya dengan lagu-lagu dolanan sepanjang perjalanan.
Seminggu berlalu, kaki kiri Tantri tidak bisa digerakkan. Namun ia tetap ke sekolah. Ganggas, ayah Tantri harus menggendongnya setiap pagi ke sekolah dan setiap siang saat pulang ke rumah. Ganggas seorang kuat secara fisik dan mental sekaligus penyayang keluarga. Kekuatan tubuhnya membuat banyak orang takut, apalagi ia dikenal sebagai pelatih di sebuah perguruan bela diri milik Uwak Kajang, seorang tokoh partai politik di wilayah kecamatan. Tantri terharu. Ayahnya yang ditakuti kini justru mengabdi sepenuh hari pada dirinya. Saat pagi, Tantri digendong ayahnya hingga masuk kelas. Ayahnya terkadang menunggu hingga Tantri duduk di bangku dengan nyaman. Begitu pelajaran dimulai, ayahnya pulang karena harus bekerja di sawah. Saat siang, ayahnya kembali ke sekolah, menjemputnya dari atas bangku lalu neggendongnya pulang. Namun lama-lama Tantri kasihan dan minta berhenti sekolah.
“Kenapa berhenti? Ayah masih kuat menggendongmu!” kata Ganggas ketika Tantri melontarkan keinginannya.
“Tantri malu. Tantri ingin sembuh!” kata Tantri. Ia mamegang kaki kirinya sembari mendongakkan kepala memandang ayahnya. Mata bocah itu berkaca-kaca.
Ganggas terhenyak. Keinginan Tantri membuatnya sadar bahwa selama ini ia lebih sering menyelesaikan persoalan dengan kekuatan tubuh, dan jarang menggunakan pikiran dan hati. Ia sadar betapa malu Tantri digendong setiap hari, meski sebagai ayah ia bangga bisa pamer kasih sayang kepada anak sekaligus pamer kekuatan tubuh dihadapan warga desa.
Ganggas kemudian menemui Uwak Kanjeng, tokoh partai yang juga pemilik perguruan bela diri tempat ia menjadi pelatih. Selain memberi uang untuk biaya sewa mobil dan berobat, Uwak Kajeng juga memberi petunjuk untuk mengantar Tantri ke rumah dokter ahli penyakit kulit di Mengwi. Ganggas mengantar Tantri ke dokter itu. Tapi berkali-kali diobati, borok di lutut Tantri tidak juga sembuh. Ganggas datang lagi ke rumah Uwak kanjeng. Dengan mudah Ganggas mendapat uang dan ia disarankan mengantara Tantri ke rumah dukun di kaki Gunung Batukaru. Ganggas menurut. Di rumah dukun itu Ganggas mendapatkan penjelasan yang susah diterima nalar.
“Ini bukan luka biasa. Luka ini dikirim dengan kekuatan gaib oleh orang yang iri pada keluarga bapak. Obatnya susah. Luka ini bisa sembuh jika dibasuh dengan darah manusia!” papar si dukun setelah memeriksa luka Tanteri dengan cara aneh.
“Darah Manusia?” Ganggas kaget. Tantri hanya mendengar.
“Ia, itupun darah manusia yang terluka atau mati tidak wajar!” tegas si dukun.
Dukun gila! Ganggas menyumpa dalam hati. Tanpa ingin mendengar penjelasan lebih lengkap lagi, Ganggas langsung mengajak Tantri pulang. Di rumah, Tantri melewati hari-hari dengan terbaring saja di kamar. Ibunya tetap rajin mengobati luka Tantri dengan ramuan rempah-rempah dan tumbukan daun semak. Namun borok itu tetap ada.
Ganggas putus asa. Ia jarang pulang dan lebih banyak mengurus perguruan bela diri. Saat ia sibuk merekrut murid dari berbagai desa, terjadi konflik politik. Ganggas diburu massa. Sebenarnya ia tak tahu politik. Namun sebagai pelatih bela diri di perguruan milik Uwak Kanjeng, ia dianggap antek-antek Uwak Kanjeng yang partainya tiba-tiba dicap penghianat bangsa. Uwak Kanjeng sendiri menyerah lalu dijemput massa dan digiring entah ke mana. Sedangkan Ganggas menolak untuk menyerah. Ketika massa menyerbu perguruan, Ganggas sudah siap dengan pedang di tangan. Seorang diri ia hadapi massa yang jumlahnya lebih dari seratus orang.
Tantri yang terbaring di kamar kemudian mendengar kabar ayahnya terbunuh. Mayatnya diseret massa di jalan. Kepalanya pecah ditumbuk benda tumpul. Darah mengucur deras dan berceceran di jalan. Mendengar kabar itu, Tantri tersedu. Ia ingat kata-kata si dukun. Dan ia membayangkan darah ayahnya. Ketika mayat Ganggas digotong warga desa ke rumahnya, darah segar masih mengalir dari lubang luka di kepala. Tantri sempat bimbang. Namun dengan keluguan seorang bocah ia meraup darah itu dengan tangan lalu dibasuhkannya ke borok lutut kiri.
“Maaf, Ayah! Maaf, Ayah!” kata Tantri berkali-kali sembari terus menangis. Warga desa, termasuk ibu Tantri, tak megerti, dan hanya Tantri yang paham tentang apa yang sedang dilakukannya. Sehari setelah mayat Ganggas dikubur, borok di lutut kiri Tantri langsung kering dan tiga hari kemudian benar-benar sembuh. Namun Tantri merasakan sesak seakan dipukul rasa bersalah yang tak kunjung enyah hingga kini.
Kini, menjelang pemilu, borok yang muncul di lutut kiri Tantri menyeret kembali ingatan tentang ayahnya, Uwak kajeng, dukun di kaki Gunung Batukaru, partai politik, massa, pedang dan tentu saja darah. Ingat semua itu, ia makin ngeri. Dan kengerian itu mencapai puncak ketika seoran mengabarkan bahwa Bontoan terbunuh ketika sedang mengamankan atribut partai. Ia dikeroyok massa. Mayatnya diseret di jalan. Darah mengucur deras dari lubang luka di kepala.
Tantri berusaha menahan tangis. Ia memandang borok di lutut kakinya dengan tajam. Dan ia membayangkan darah suaminya.

0 komentar: