Andai Kami Bisa Bersaksi
Penulis: Aris Munandar
Terlihat warna bumi menjingga dari luar
sebuah Caffe di bilangan Jakarta
Selatan. Diselingi teriakan klakson dan bunyi kasar mesin kendaraan yang dibawa
pengemudi-pengemudi lelah sehabis ngantor. Kontras dengan keadaan di dalam.
Di permukaan meja masih mengepul espresso
dengan bau khasnya yang
baru lima menit ditinggal si pemesan. Seharusnya ia memesan begitu wanita yang ditunggunya tiba, namun wanitanya
tak kunjung menampakkan diri. Si pria bosan menunggu, lima menit kemudian ia
menyerah, lalu pergi.
“Kasihan pria itu, aku tahu dia sedang menunggu,” Ucap
Meja.
“Kadang kau memang suka sok tahu, tapi kali ini aku
setuju,” Jawab Kursi setuju.
Bunga yang tadi digenggam bersemangat
begitu masuk, kini jatuh pasrah menghantam lantai caffe yang
dingin. Lemas batal menjadi saksi kebahagiaan pertemuan yang telah lama di
nanti. Kenapa sang wanita ingkar janji? Entahlah.
********
Lonceng
yang menggantung di atas pintu masuk berbunyi. Seorang pria dengan baju dan
celana warna senada membuka pintu. Memasang badan tegap layaknya Brigade
Gurkha, namun sedikit berbeda dengan simpulan senyum menghormat di wajahnya.
Setelahnya, masuk pria berusia lebih separuh baya, tapi masih tampak segar bugar
bergaya perlente berbalut jas hitam tersetrika rapi yang tak mampu menutupi
perut buncitnya. Seperti menyibak angin dengan gagahnya.
Berjalan
melewati tiga empat pengunjung yang duduk nyaman dengan kegiatannya
masing-masing. Membaca koran, mendengar sesuatu dari telepon genggamnya melalui
headset, dan segala macamnya. Mereka
terlihat nyaman tanpa terganggu oleh kharisma pria yang baru masuk.
Waitress datang menawarkan menu. Tanpa menoleh daftar, bisa
ditebak, yang dipesan adalah si hitam yang eksotis nan lugu. Selisih l5 menit,
datang dua orang pria yang terlihat dari kejauhan, yang satunya membawa koper.
Ya, koper hitam mengkilat.
Pria
perlente menyodorkan tangan tanda mempersilakan mengangkat sejengkal bokongnya
dari kursi dan dibalas senyum layaknya menyambut teman lama oleh pria
didepannya. Sementara ajudannya terus mengawasi sekeliling dari meja lain.
“Ku kira kalian bertipikal sama dengan
orang Jepang, menganggap waktu adalah uang. Kalian terlambat 10 menit dan
bodohnya aku berpikir datang lima menit lebih awal agar tidak terlambat,” Ucap
si pria perlente dengan suara berat, bernada bercanda. “Kalau terlambat sedikit untuk uang yang
banyak bukannya tak jadi masalah,” Sanggah salah satu pria didepannya. “Sudah
lama bapak Andi Riwandi?” Bertanya basa-basi.
Pria perlente memasang air muka sedikit
sebal, “Apa kau mencoba menguji kesabaranku, Fong, eh, Suryatna,” Andi
terkekeh, terpintas ingatan bahwa teman di sebelahnya sudah berganti nama. “seperti
dulu kau tak sengaja membuat sekardus buku kesayanganku terbakar,” lanjutnya.
“Maaf soal itu, aku harap hari ini bisa
menebus kesalahanku semasa kita kuliah dulu,” pria itu coba mengimbangi. Mereka
adalah teman lama, sekaligus musuh lama sejak peristiwa terbakarnya sekardus
buku. “Ayo kita lakukan dengan cepat,” Mengerti betul dengan kalimat yang baru
saja dikeluarkan bosnya, koper yang diletakkan di bawah seketika sudah berada
di hadapan mereka, di atas permukaan meja.
Pria itu membuka koper hitam dengan
hati-hati dan muka tenang, yang dipaksakan. Keluar dua lembar kertas yang tak
lagi berwarna putih suci karena telah dibubuhi times new roman.
“Kepentingan apa yang kau inginkan dariku,?”
“Aku tak perlu menjelaskan, semua ada di sini,” sambil
menyodorkan kertas itu dengan bagian yang bertulis ditelungkupkan ke bawah.
“Dasar taipan licik, entah nenek moyangmu, entah kau,
kelakuannya sama saja,”
“Bukannya kau tak kalah buruk!”
Surya berbasa-basi seakan hendak menawar
harga, “Aku heran, untuk seorang teman lama, kenapa bantuan dihargai sebegini
mahal.” Sambil membetulkan posisi duduk, Andi merapikan setelan jasnya, hanya
membalas terkekeh.
Mereka tertawa bersama, sejenak
mengendurkan urat syaraf. AC bersuhu
18 derajat, hujan gerimis di sela azan maghrib, tak mampu membuat suasana
nyaman.
Apa
yang sedang mereka lakukan, Meja
membatin, mencoba mengintip rahasia langit dengan menerka-nerka dan mendahului
jalannya waktu. Ditatapnya lamat-lamat wajah keempat orang didekatnya,
bergantian. Dia merasa ada yang mengganjal.
“Apa kau tidak salah memilih tempat ini.
Hanya sepelemparan batu ke kandang macan” ucap pria perlente.
“Nasihat orang China terdahulu mengatakan,
kadang tempat paling aman untuk bersembunyi adalah di kandang ‘musuh’ sendiri,
tempat yang sering kita anggap paling berbahaya.”
Ada perasaan khawatir
mengingat resiko sebesar
gunung Everest akan menanti jika dewi keberuntungan tak memihak mereka. Bukan
main-main, resikonya terjepit dari atas dan bawah. Namun kurasan energi seakan
hanya berputar di sekitaran kepala karena berpura-pura tenang saat suasana
terasa tegang.
Suasana Caffe yang lebih sepi dari biasanya, mungkin karena bukan malamnya.
Lalu lalang orang yang jarang di lorongnya membuat mereka sepakat berpikir,
berimajinasi bahwa orang-orang itu sedang mengawasi mereka. Bahkan Surya yang
terlihat tenang, sekarang berubah tegang.
“Ternyata taipan yang bisnisnya menggurita ini mau
menemuiku langsung untuk meminta bantuan, aku harap itu suatu bentuk
penghormatan,”
“Aku hanya sekedar ingin reuni dengan teman kuliah
setelah 30 tahun tak bertemu,”
Koper yang tepat berada di tengah meja
kayu dengan seratnya yang dipernis halus, didorong oleh Surya ke arah Andi,
tanda menyerahkan. “Aku rasa ini cukup adil, akan kulakukan kewajibanku setelah
ini,” Andi menjawab sodoran koper dari Surya.
“Shit,”
Kursi menghujat.
“Untuk apa kau marah, apakah itu membuat
mereka mengurungkan barter kotor itu,” Meja merespon sok bijak.
“Aku memaki untuk dua hal. Pertama, aku
merasa berdosa dijadikan alas duduk tikus tengik itu. Kedua, aku tidak bisa
berbuat apa-apa,”
Gemeretak dan decitan kursi dari empat
pengunjung lain yang hampir bersamaan membuat mereka kaget. Secepat kilat,
menghampiri mereka tanpa kesempat
berkedip, apalagi kabur. Pembaca koran yang tadi asik membolak balik koran,
pria dengan headset di telinga, pria
yang sedang asik membaca buku, dan Seakan sudah hafal betul dengan tugasnya,
tanpa celah untuk salah, ada yang memegangi Surya, Andi, dan anak buahnya. Ada
lagi yang mengamankan barang bukti di TKP.
Setelah itu, masuk hampir selusin pasukan
memakai rompi berwarna cokelat putih yang nampak serasi dengan tulisan tiga
huruf di punggungnya, KPK.
“Apa yang kalian lakukan,” Ucap Andi,
mencoba berkelit, pura-pura tidak tahu. Sedang Surya hanya diam, seakan pasrah,
atau sedang memikirkan cara lain untuk berkilah. “Anda punya hak untuk tetap
diam Pak, sampai pengacara Anda menemani nanti di kantor,” jawab salah satu
penyidik.
Andi berang, “Nenek moyangmu keliru Sur,
kandang macam bukanlah tempat yang aman untuk bersembunyi.”
Lalu mereka “diseret” menuju ke mobil
tahanan KPK. Tangan diborgol ke belakang. Beberapa percikan lampu kamera media
menyilaukan mata. Urang dari satu menit setelah mereka masuk, ban mobil sudah
menggelinding menuju kantor KPK. Keesokan harinya, headline di salah satu surat kabar dengan oplah terbesar di
Indonesia memuat berita “Kerjasama dengan BIN, KPK Tangkap Tangan AR dan
Pengusaha Properti”.
0 komentar: