Wanita dan Semut-Semut di
Kepalanya
Penulis
: Anggun Prameswari
Disadur
dari Kompas, edisi Minggu, 02 Maret
2014.
Masuk
dalam “Cerpen Pilihan Kompas 2014”
Sungguh, tidak ada yang paham
rumitnya isi kepala wanita itu. Termasuk sang suami yang mengencaninya selama
enam tahun, lalu menikahinya selama enam tahun pula. Konon, pria itu ta kuat
lagi menghadapi pikiran istrinya yang selalu rumit. Ia angkat kaki setelah
ribut besar dan berkata lantang sekali sampai sepenjuru gang mendengarnya,
“Otakmu yang rumit itu, suatu hari akan habis dimakan semut-semut.”
Para
tetangga pun mulai bertaruh, apakah wanita itu akan merutuki nasibnya, atau
kalap mencari suaminya ke sepenjuru kota; jika perlu mengetuk tiap pintu, atau
mulai bertingkah tak waras. Namun, ia tetap melanjutkan hidup seperti tak
terjadi apa-apa. Ia berangkat sebelum matahari terbit dan pulang sebelum senja;
bekerja sebagai pustakawati di universitas swasta. Setiba di rumah, ia menyeduh
teh serai lalu duduk di beranda untuk membaca buku. Tepat jam sembilan malam,
ia akan masuk, mengunci pintu, dan mematika lampu-lampu. Di hari Minggu, ia
pergi ke pasar membeli bahan makanan layaknya istri pada umumnya. Lelah
menerka, akhirnya mereka pun berhenti bertaruh.
Sayangnya,
semua berubah saat ia menemukan sepucuk surat yang lupa diambil dari kotak di
dekat pagar. Pembantunya, yang memang cuma datang dua jam di pagi hari untuk
cuci-setrika, mencuri pandang saat wanita itu membuka amplop dengan tangan
bergetar hebat. Majikannya menatap kosong ke arah kertas, seakan matanya tengah
mengunjungi tempat yang jauh.
“Bu,
kok pucat begitu!” dikumpulkannya nyali untuk bertanya.
“Bik,
bagaimana caranya membunuh semut?”
“Hah?”
“Kudengar
ada kapur ajaib yang bisa mengusir semut?”
Pembantu
itu makin bingung.
“Belikan
selusin. Ah jangan, dua lusin saja.”
“Banyak
betul. Buat apa?”
“Mengusir
semut, untuk apa lagi. Sebelum mereka makan habis otakku.”
Dengan
bingung yang bertindihan, ia bergegas menuju warung. Dilihatnya sang majikan
melipat surat itu kecil-kecil sembari menatap-jelajah seluruh sudut rumah;
seakan ada yang dicari. Pembantu itu sontak teringat sesuatu saat menutup pintu
pagar; kalimat penuh amarah suami majikannya selepas bertengkar, “Otakmu yang
rumit itu, suatu hari akan habis dimakan semut-semut.”
***
Wanita
itu baru sadar, ternyata di rumahnya ada semut. Awalnya satu. Esok jadi dua.
Lusa jadi berlipat banyaknya. Ia lihat semut itu berjajar beriringan dalam
selengkung garis di dinding teras rumah. Novel Haruki Murakami di pangkuan tak
lagi menggugah seleranya. Ia mendekatkan pandangan, mengamati benar-benar.
Semut-semut
merah berpapasan, lalu kembali berjalan, berpapasan lagi, begitu seterusnya.
Dari lubang kecil di batas taman dan lantai teras, barisan semut itu mengular
sampai kel lubang kecil di dekat kusen. Dalam hatinya bertanya, lubang sekecil
itu, mana bisa menampung semut sebanyak itu. Apapula yang mereka katakan saat
berpapasan. Apa mereka bertukar kabar atau sedang membicarakan dirinya, yang
terlampau khusyuk mengamati koloni semut. Wanita itu terus berjongkok bak
profesor peneliti tingkah laku semut. Lupa pada senja yang beranjak. Tuli pada
kasak-kusuk tetangganya yang keheranan.
Mendadak
ia teringat murka suaminya yang membahana ke mana-mana saat itu. Ia berlari
mengambil kapur ajaib. Digoreskannya melintang pukang di jalur masuk rumahnya.
Semacam mantra ajaib yang Sri Rama guratkan mengelilingi tanah pijakan Dewi
Shinta, agar tak ada yang menculiknya.
Sekilas
ia tersenyum lega. Malam ini tidurnya bisa nyenyak. Namun, tak lama ia sadar.
Bukakah akhirnya Dasamuka berhasil menembus lingkaran perlindungan dan menculik
Shinta? Kengerian menjalari tengkuk, seakan semut-semut merah itu mencari jalan
menembus tengkoraknya. Bersiap memakan habis otaknya.
Semalaman,
wanita itu tidak tidur. Dibeliakkannya mata lebar-lebar. Mencari lubang
setusukan batang jarum di sudut tersembunyi rumahnya yang bisa dijadikan celah
masuk semut.
Ia
pun tak peduli lagi saat tetangganya bulat menyimpulkan; kesepian telah memakan
habis kewarasannya.
***
Semut-semut itu terus berbaris entah
mana ujung dan pangkalnya. Beranda, dinding belakang rumah, dinding daur,
bahkan di dekat jendela kamarnya, sudah takluk dikepung semut.
Ia suruh pembantunya menyapu dua kali
lebih sering. Tak lagi menyimpan kue untuk mengudap. Ia juga mulai makan di
taman depan, agar tak ada sisa makanan berjatuhan di dalam rumah. Tak
dipedulikannya tatap iba yang makin kentara, tiap kali ia suapkan makanan ke
mulut. Saat ditanya kenapa makan di luar, ia menjawab “Di dalam banyak semut.”
“Apa
hubungannya?”
“Nanti
aku dikerubungi semut.”
“Masa
Takut sama semut?”
“Pernah
hitung berapa ekor semut di dalam sana? Mungkin ada lebih sejuta. Aku aku bisa
dikerubungi! Bisa habis otakku dimakannya,” bisiknya sambil melahap lauk
terakhir. Sorot matanya tajam dan dalam. tetangganya memilih pergi sambil
menggelengkan kepala.
Ia
pun balik melawan. Dikerahkan segala resep alami pengusir semut yang
ditemukannya di internet. Ada larutan cuka, potongan mentimun, kantong teh mint
bekas, jus lemon, air sabun, larutan garam, sampai taburan bubuk kopi dan bedak
bayi. Sayang, semuanya berkhasiat sementara. Di ujung hari, iring-iringan semut
bertambah panjang, semakin rapat.
Terlampau
kesal, ia membeli sebotol obat serangga. Tanpa peduli lagi, diarahkan
penyemprotnya, mirip bazooka memborbardir ke segala arah. Titik-titik cairan
menghujani dinding-dinding, meninggalkan pola basah. Semut-semut itu akhirnya
menempel tak bergerak di dinding. Melihat itu, ia makin kalap dengan gerakkan
tangan, menyemprot seisi rumah. Aroma obat membumbung, mambekap jalur udara. Ia
tak peduli. Yang penting mereka mati, tak bersisa lagi.
Tak
dinyana, tepat tengah malam, garis-garis yang dibentuk dari barisan semut
muncul kembali. Seakan mereka bangkit dari kematian, membawa pasukan lebih
banyak. Setengah tercekik aroma obat serangga, wanita itu terkulai lemas.
Terduduk dengan mata yang panas. Lelehlah segala kelelahan yang ia simpan
kuat-kuat di dada.
Andai
suaminya ada di sini. Lelaki itu pasti tahu bagaimana mengatasi ini semua.
Semut-semut itu, juga kesepiannya.
***
Akhirnya ia berhenti berperang. Ia
biarkan semut-semut itu merambati dinding-dinding rumah. Makin banyak saja yang
bertandang. Semut dari rumah sebelah, rumah sebelahnya lagi, dan taman depan
kompleks. Bahkan semut-semut di kantornya ikut datang ke rumah. Sengaja ia
tebarkan butir-butir gula agar mereka betah, beranak pinak, menemaninya di
rumah yang terasa makin sepi setelah pembantunya meminta berhenti karena tak tega
melihat majikanya makin gila.
Ternyata semut-semut itu menemaninya.
Mendengarkannya bercerita. Persis suaminya. Pria itu begitu perhatian, telaten
mendengarkannya. Satu-satunya yang tahan disisinya, menghadapinya, meladeninya.
Pria
itu lelaki sederhana. Ia wanita rumit yang jatuh cinta padanya. Tiap ia membuat
isi kepalanya semrawut entah oleh apa, pria itu cepat-cepat menyederhanakannya.
Dengan pelukan dan ciuman. Seakan bibir pria itu mengandung xanax yang segera mengurai
kegelisahannya yang mirip buntal benang wol.
“Kalian tahu, aku mencintainya,” ujar
wanita itu lirih serupa hembusan angin. Semut-semut itu hening mendengarkan.
“Aku merindukannya. Ia suka sekali memelukku dari belakang sampai aku jatuh
tertidur.”
Tak ada jawaban. Hanya ada derap kaki-kaki
semut.
“Suatu hari, ia bilang ia lelah.
Katanya aku terlalu rumit. Padahal, aku cuma tanya, apa jadinya kalau suatu
hari ia bertemu dengan wanita yang mirip dirinya. Sederhana. Tak banyak
bertanya, jarang mengkahayal. Tak gemar menumbuhkan cerita-cerita di kepala,
tentang kemungkinan-kemungkinan, juga perkiraan. Apakah ia akan jatuh cinta
pada wanita itu? Apa ia akan berpaling? Kalaupun meninggalkanku, apa ia masih
akan merindukanku? Diam-diam bayanganku saat bercita dengan wanita itu.”
Kini dinding tak terlihat lagi
warnanya. Rata dipenuhi semut-semut yang berdatangan dari pelosok negeri.
Mendengarkan dongengnya sembari mengudap butir gula dan remah makanan yang
sengaja ia tebarkan.
“Awalnya ia tak menjawab, tapi aku
bersikeras. Bukankah wanita sederhana itu selalu ada? Mungkin lebih banyak
dimana-mana. Aku bilang kepadanya, ia tampan dan pintar. Perempuan kelak mendatanginya
satu demi satu, lama-lama jadi seribu, mengerubunginya seperti semut mengepung
gula-gula. Aku harus yakin bahwa ia akan tetap mencintaiku. Aku terus saja
bertanya, sampai akhirnya ia lelah. Pergi dan menyumpahi otakku habis dimakan
semut.”
Wanita itu terkekeh. Matanya tampak
lelah. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamar dan merebahkan tubuh.
Semut-semut itu mengikutinya, melapisi perabotan dan setiap permukaan rumah,
seakan semua ditutup beledu merah kehitaman.
“Mungkin wanita sederhana itu
benar-benar ada. Bisa jadi karena itulah dia pergi. Bukan karena ia lelah
mencintaiku. Bagaimana menurut kalian?”
Semut-semut merangsek merambati
ranjang.
“Atau mungkin ia bukan menyumpahiku.
Mungkin ia berdoa aku tak lagi rumit. Menjadi lebih sederhana agar lebih mudah
dicintai. Kalian setuju?”
Mereka terus naik ke tubuhnya. Ujung
kaki dan ujung tangan, rambut, perut, entah bagian mana lagi yang tersisa.
“Boleh aku minta tolong, maukah kalian
habiskan isi otakku yang rumit?”
***
Esok hari, kompleks itu gempar. Tubuh
seorang wanita kesepian ditemukan tak bernyawa. Aroma busuk makanan yang
sengaja disebar berbaur dengan uap obat serangga yang memenuhi ruangan
rumahnya.
Suara-suara tetangga yang membumbung
sekejap diam saat sesosok tiba dirumah berpenghuni malang itu. Entah sudah
berapa bulan lelaki itu tak muncul. Sejak ribut besar dan menyumpahi istrinya
dengan lantang.
Ia memeluk istrinya terakhir kali.
Ujung jari wanita itu menggenggam surat gugatan cerai yang lusuh karena terlalu
sering dipegang. Tertahan, isaknya menyayat hati. Saking merananya, lelaki itu
tak menyadari tak ada seekor semut pun tampak di dinding rumah itu.
0 komentar: